Minggu, 15 Agustus 2010

Syekh Abdulgani Bima (Al-Bimawi)
Bima sudah mampu menampilkan ulama kelas dunia sejak 250 tahun silam. figur legendaris yang mampu memikat hati banyak orang adalah Syekh Abdulgani Bima (Al-Bimawi). Disamping itu ada sejumlah ulama ternama. Mereka terbukti mampu menopang wibawa dan kebesaran Bima karena menempatkan diri sebagai tangki-tangki moral di masyarakat.

Membicarakan ulama Bima, teringat kepada Syekh Abdulgani Bima atau lazim lebih dikenal dengan Al-Bimawi, orang tua kita yang telah menjadi klasik. Nama Abdulgani sangat masyhur di dunia Islam pada paruh abad ke-19. Keluasan ilmunya menyebabkan beliau menjadi tempat berguru banyak ulama yang datang ke Madrasah Haramayn, Mekah. Jika kita melacak garis genealogi atau hubungan kekerabatan intelektual Abdulgani dengan ulama-ulama di Indonesia kira-kira pertengahan abad ke-19,


Abdulgani tergolong salah satu moyang ulama Nusantara. Ia termasuk apa yang disebut Dr. Azyumardi Azra dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan VXIII, 1995, sebagai penyambung mata rantai jaringan ulama Nusantara abad XIX dengan Timur Tengah.

Abdulgani lahir di paruh terakhir abad ke-18 kira-kira tahun 1780 di Bima. tidak ada catatan pasti mengenai kapan hari lahir Abdulgani. Yang jelas beliau berasal dari lingkungan keluarga ulama yang memiliki kegandrungan tinggi dalam mengkaji Al-Qur’an. Orang tua Abdulgani dikenal sebagai mufasir, penghafal Al-Qur’an.

Asal muasal Abdulgani dimulai dari Abdul karim, seorang da’i kelana dari Mekah kelahiran Bagdad. Konon Abdul Karim sampai ke Indonesia, pertama kali menuju Banten, untuk mencari saudaranya. dari Banten, Abdul Karim mendapat informasi bahwa saudaranya itu ada di Sumbawa. Pergilah ia ke sana dan sampai di Dompu. Seraya berdagang tembakau, Abdul Karim menyiarkan Islam. Hal itu menarik perhatian Sultan Dompu, lalu beliau diambil menjadi menantu. Dari pernikahan dengan gadis istana itu, Abdul Karim mendapat anak laki-laki bernama Ismail. Ismail pun mengikuti jejak ayahnya menjadi mubaligh. Ismail kemudian menikah dan mempunyai anak bernama Subur. Syekh Subur sejak muda sudah hafal Al-Qur’an. Dia menikah dengan gadis Sarita, Donggo. Dari pernikahan itu lahirlah Syekh Abdulgani. Kehebatan ilmu Sykeh Subur membuat Sultan Alauddin Muhammad Syah (1731-1743) mengundangnya ke istana. Beliau didaulat menjadi imam kesultanan. Menulis Al-Qur’an Mushaf Bima adalah prestasi luar biasa ulama ini. Mushaf yang beliau tulis diberi julukan La Lino. Kitab tersebut masih ada hingga kini dan tersimpan di kediaman keluarga sultan di Bima. Karyanya itu menjadi satu-satunya Al-Qur’an Mushaf Bima. La Lino juga termasuk salah satu mushaf tertua di Indonesia.

Di Bima dan Dompu, pengaruh ulama ini dan keturunannya di masyarakat setara dengan raja, memiliki karomah. Orang di daerah ini memanggil Syekh Abdulgani dan keturunannya dengan panggilan Ruma Sehe. Ruma secara harafiah berarti Tuhan, merupakan panggilan untuk raja oleh rakyatnya seperti halnya raja-raja Jawa yang dipanggil rakyat (hamba) dengan gusti [prabu], yang mengacu ke Tuhan.

Hingga kokok ayam yang pertama menjelang subuh oleh orang Bima dan Dompu dikatakan: koko janga Ruma Sehe atau kokok ayam Syekh. Sebutan itu sekaligus menunjukkan para Ruma Sehe begitu awal bangun bahkan mungkin mereka tidak tidur sepanjang malam untuk beribadah. Kokok ayamnya saja — sebagai pertanda subuh karena dulu belum ada pengeras suara — lebih dini dari ayam lain. Semua itu tidak lain sebagai cermin ketaatan Ruma Sehe dalam beribadah pada Allah.

Ada banyak cerita di masyarakat Bima dan Dompu mengenai keistimewaan orang tua ini. Beliau misalnya secara ajaib pernah menyebabkan Ka’bah miring hanya karena Abdulgani memiringkan kopiah di kepalanya. Ceritanya, dalam satu majelis di Masjidil Haram beliau sedang berada dengan sejumlah ulama. Seorang diantara mereka merasakan keanehan, melihat Ka’bah miring. Ia pun menyampaikan hal itu kepada pimpinan majelis. Semula para ulama, teman-teman Abdulgani bingung. Tapi pimpinan majelis melihat ke Abdulgani seraya berkata,”Ada orang amat saleh diantar kita.” Dia lalu meminta Abdulgani meluruskan kopiahnya. Setelah kopiah Abdulgani ke posisinya, Ka’bah pun tegak seperti semula. Ihwal karomah seperti ini, ulama NU KH. Kholil Bisri, pimpinan Pondok Pesantern Raodlatul Thalibin, Rembang, pernah bercerita bahwa dalam satu kitab, ada seorang yang tahap ketaqwaannya amat tinggi tapi penampilannya sederhana bahkan kumal, kemudian dicemooh orang. Anak-anak melemparinya dengan batu. Ia lantas masuk masjid. Saat dia mengenakan kopiah, kopiah itu miring. Ajaibnya, dunia ikut miring. Melihat kejadian itu, seseorang melapor ke kiai. Selanjutnya kiai tadi menemui orang tersebut dan meminta letak pecinya dibetulkan. Orang itu ternyata tidak merasa kopiahnya miring sebab yang memiringkan sudah tangan Allah. Setelah dibetulkan, dunia kembali normal. Keutamaan-keutamaan seperti kata Bisri, bisa disandang seseorang, sebab dalam hadis Qudsi digambarkan, bila kita sudah bisa berasyik-masyuk dan dicintai Allah, kaki kita yang berjalan itu kaki Allah, mulut kita yang bicara itu mulut Allah. Dalam bahasa para sufi dikatakan: “ana anta wa anta ana“, aku adalah Engkau dan engkau adalah aku. Atau “ana huwa wa huwa ana“, aku adalah Dia dan Dia adalah aku.

Dalam kisah lain disebutkan, suatu waktu Abdulgani sedang duduk dalam satu majelis di Masjidil Haram. Pemimpin majelis tiba-tiba mengajukan pertanyaan nyeleneh kepada Abdulgani tentang Allah. “Abdulgani, menurut tuan Allah sedang melakukan apa sekarang?” bertanya pimpinan majelis. Abdulgani tidak langsung menjawab pertanyaan tersebut. Sejurus beliau diam, lalu berkata, “Tuan, boleh kita bertukar tempat?” kata Abdulgani seraya meminta ketua majelis turun dari mimbar, untuk kemudian Abdulgani duduk di tempat tersebut. Setelah di mimbar, Abdulgani berkata, “adapun yang dilakukan Allah adalah baru saja menggeser posisi duduk saya dengan tuan.” Pimpinan majelis menyatakan puas dan kagum pada Abdulgani.

Kemampuan Abdulgani mengetahui sesuatu sebelum ditunjukkan atau mengerti tanpa belajar dikatakan memiliki ilmu laduni. hanya ulama-ulama yang sudah benar-benar hubullah atau cinta Allah yang bisa memiliki ilmu tersebut. Dalam satu perjalanan ibadah haji dari Mekah ke Madinah, Abdulgani pernah mendapat keajaiban. Beliau berjalan dengan beberapa orang dalam rombongan. Di tengah perjalanan, rombongan itu menemukan sesosok mayat yang membusuk. Teman-teman Abdulgani menjauhi mayat itu karena bau. Sebaliknya Abdulgani mengurus mayat tersebut dan menguburkannya. Ketika Abdulgani hendak menutup lubang kubur, mayat itu tiba-tiba berbicara dan memberitahukan sejumlah rahasia kepada Abdulgani. mayat itu ternyata jelmaan malaikat. Salah satu rahasia tersebut adalah jawaban dari sayembara unik oleh Dinasti Utsmany yang bakal digelar di Mekah. Gagal menebak berarti nyawa taruhannya. Abdulgani ternyata mampu menebak isi bungkusan yang disodorkan kepadanya yakni Surah Al-Ikhlas. Atas kemampuannya, Abdulgani memperoleh tanah wakaf dari penguasa Mekah.

Syahdan, keistimewaan Abdulgani bermula dari peristiwa luar biasa yang dialaminya waktu belia. Kala bermain dengan teman-temannya, Abdulgani didatangi seseorang dan dibawa pergi. Abdulgani ternyata dibedah dadanya kemudian dibersihkan dada tersebut oleh laki-laki misterius itu. Pengalaman Abdulgani mengingatkan kita pada apa yang dialami nabi Muhammad SAW menjelang Isra’ dan Mi’raj. Waktu itu Nabi dibersihkan lahir dan bathinnya oleh malaikat Jibril.

Rupanya kejeniusan sang ayah (Syekh Subur) menurun kepada Abdulgani. Beliau menikahi gadis Dompu. Dari pernikahan itu lahir Mansyur yang kemudian dikenal sebagai Syekh Mansyur atau Sehe Jado. Syekh Mansyur menikah dan mempunyai dua anak yakni Syekh Mahdali (Sehe Boe) dan Syekh Muhammad. Syekh Abdulgani meninggal di Mekah pada dasawarsa terakhir abad ke-19.

Cerita-cerita ini tentu ada yang bisa diterima kebenarannya. Cerita yang tidak mempunyai dasar yang jelas, misalnya, beliau bisa tiba-tiba berada di Bima atau Mekah. Menghidupkan cerita-cerita mengenai karomah yang berlebihan itu tentu merupakan bentuk kultus terhadap Abdulgani, satu perbuatan yang dilarang Islam. Tindakan demikian hanya membuat aqidah masyarakat menjadi cacat.

Dikutip dari Muslimin Hamzah dalam Ensiklopedia Bima, 2004.
sumber dari http://ompundaru.wordpress.com yozikelikodo.blogspot.com/



baca selengkapnya

Penelitian Mushaf Di Indonesia
(Puslit Lektur Keagamaan Balitbang Agama dan Keagamaan, 2003, 0 halaman)
Allah berfirman dalam al-Qur’an yang artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang memeliharanya. (Q.S. 15:9). Upaya pemeliharaan al-Qur’an tidak hanya dilakukan oleh umat Islam saat ini, tapi juga telah dilakukan oleh Rasulullah dengan menjaga hafalannya hingga wafat. Rasulullah selalu mengulang-ulang hafalannya setiap tahun dengan bimbingan dari Malaikat Jibril. Pada saat ini upaya pemeliharaan al-Qur’an tidak hanya dalam bentuk hafalan, tapi juga dalam bentuk pemeliharaan mushaf al-Qur’an dari generasi ke generasi. Sebagaimana yang dilakukan oleh Puslitbang Lektur Keagamaan Balitbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI. Penelitian mushaf ini bertema “Sejarah Perkembangan Penulisan Mushaf Al-Qur’an di Nusantara” tahap I yang dilaksanakan di 13 propinsi tahun 2003. Penelitian ini berangkat dari temuan sebelumnya bahwa penulisan mushaf al-Qur’an di Indonesia telah dimulai sejak empat abad yang lalu. mushaf yang dianggap tertua ditulis oleh seorang ulama al-faqih al-shalih ‘Afifudin Abdul Baqi bin ‘Abdullah al-‘Adni, bertahun 1585 M, di Wapanwe, Kaitetu, dan oleh seorang bernama Nur Cahya (tahun 1590 M) yang menyelesaikan penulisan mushaf di pegunungan Wawane, Ambon. Abad ke-16 itu merupakan awal pertumbuhan penulisan mushaf al-Qur’an di Indonesia. Beberapa naskah al-Qur’an kuno

juga dijumpai di Jawa, Sumatera, Sulawesi, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, Bali dan Sebagainya. Hingga saat ini belum ada buku monografi yang memaparkan sejarah penulisan mushaf al-Qur’an dari masa ke masa. Demikian pula belum banyak diketahui biografi penulisnya dan tempat mushaf-mushaf tersebut di tulis. Penelitian ini bertujuan: pertama, mengetahui perkembangan penulisan mushaf al-Qur’an di Indonesia. Kedua, Menginventarisasi, mengidentifikasi, dan mengkaji naskah-naskah mushaf al-Qur’an di Indonesia. Ketiga, mengetahui penulis, pemrakarsa, dan pendukung penulisan mushaf di Indonesia dan mengetahui tipologi rasm, kaligrafi dan iluminasinya. Penelitian mushaf al-Qur’an ini dilakukan secara bertahap, pada tahap pertama penelitian di lakukan pada tahun 2003, mencakup 13 wilayah penelitian dengan hasil temuan sebagai berikut: No. Propinsi Jumlah Judul Naskah 1 Banten 5 naskah 2 DI Jogyakarta 9 naskah 3 Jawa Barat 4 naskah 4 Jawa Tengah 21 naskah 5 Jawa Timur 57 naskah 6 Kalimantan Selatan 1 naskah 7 Sumatera Selatan 10 naskah 8 NTB 15 naskah 9 Sumatera Barat 3 naskah 10 Riau 10 naskah 11 Sumatera Utara 1 naskah 12 Kalimantan Timur 10 naskah 13 Sulawesi Selatan 15 naskah Jumlah 161 naskah Dari pengkajian terhadap 161 mushaf al-Qur’an di atas, tim peneliti berhasil mendapatkan beberapa penemuan sebagai berikut: Pertama, keadaan naskah-naskah al-Qur’an yang ditemukan pada umumnya kurang terawat, sehingga kertas naskah sudah banyak yang lapuk dan dimakan rayap, serta sulit untuk dibaca. Pada umumnya naskah sudah tidak utuh lagi, terutama pada beberapa halaman awal dan ahir. Para petugas museum dan ahli waris nampaknya belum memahami bagaimana cara merawat dan menyimpan naskah mushaf dengan baik. Dari naskah-naskh al-Qur’an yang ditemukan, hanya sebagian kecil yang mempunyai kolofon, walaupun tidak lengkap, sehingga tidak diketahui siapa penulisnya, pemesannya, serta tahun penulisannya. Untungnya sebagian besar naskah ditulis di atas kertas Eropa yang memiliki cap kertas, sehingga dapat memberi petunjuk tentang perkiraan usia naskah. Kedua, naskah-naskah yang ditemukan hanya sebagian kecil yang ditulis dengan Rasm Utsmani. Selebihnya ditulis dengan Rasm imla’i. Sistem penulisannya nampak beragam, ada yang dengan sistem pojok, dan ada yang tidak. Ada yang setiap awal Juz dimulai pada awal halaman, dan adapula yang tidak diatur sama sekali. Ketiga, penelitian ini juga menemukan bahwa semua naskah terdapat kesalahan dan ketertinggalan (kekurangan) dalam menulis teks ayat. Terjadinya kesalahan atau ketertinggalan dalam penulisan teks ayat menjelaskan bahwa penulisan mushaf tersebut tidak melalui proses pentashihan. Kesalahan tersebut ada yang diperbaiki langsung dengan cara menambah kalimat di tepi luar halaman teks, atau di sela-sela baris, dan ada yang tidak diperbaiki. Keempat, kaligrafi yang digunakan sangat sederhana, dan penulisnya belum dapat di kategorikan sebagai penulis Arab yang baik (Khattat). Namun semua tulisannya cukup konsisten, dilihat dari besar tulisan, kerapatan, maupun gayanya. Gaya kaligrafi yang digunakan untuk nash al-Qur’an adalah naskhi, kepala surah dan tulisan juz menggunakan sulus, naskhi, dan “kaligrafi floral”, yakni gaya tradisional khas yang dikembangkan secara lokal. Kelima Iluminasi Mushaf pada umumnya terdiri atas tiga bagian: 1. Iluminasi pada Ulumul Qur’an, Nisful Qur’an dan Khatmul Qur’an 2. Iluminasi pada kepala-kepala surat (‘unwan) dan 3. Iluminasi pada pinggir halaman, untuk tanda-tanda Juz, Nisf, Hizb, Nisfu Hizb dan lain-lain. Masing-masing bagian iluminasi tersebut dilukis dengan tingkat intensitas berbeda-beda, ragam hias yang digunakan pada umumnya adalah floral (tumbuh-tumbuhan), dan ada pula yang menggunakan sketsa binatang (Sumatera Barat dan Sumedang). Berdasarkan temuan mushaf tertua bertahun 1585 M dari Ambon, diperkirakan bahwa abad ke-16 merupakan awal pertumbuhan penulisan mushaf al-Qur’an di Indonesia. Ulama-ulama di berbagai tempat lain di Indonesia diperkirakan juga melakukan hal yang sama, karena naskah-naskah al-Qur’an kuno juga di jumpai di pulau-pulau lain; Jawa, Nusa Tenggara, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi sebagaimana data di atas. (sir) www.depag.web.id/research/lektur/117/

baca selengkapnya